Senin, 09 Agustus 2010

Teka-teki Terorisme

faridgaban Sat Jun 23, 2007 8:18 pm (PST)
Dear Siska dan teman lain yang berminat soal terorisme,

[Ini lumayan panjang. Dan setelah menulis berjam-jam komentar ini, saya hanya ingin minta imbalan ditraktir ice cappucino deket kantor Siska. OK? Jadi, kapan kita bisa minum bareng?]

PENGANTAR

Saya harus mengaku pada Siska, saya mungkin tidak sebanyak Siska atau Chairul Sabili atau Alfian Hamzah dalam melakukan penelusuran lapangan soal terorisme, jika yang dimaksud adalah jalan ke lapangan.

Dalam kapasitas sebagai penjaga gawang rubrik nasional dan investigasi Tempo, saya membuat penugasan, menerima laporan dan menulis banyak tema terorisme dari para wartawan, termasuk Teror Bom Natal, yang terjadi jauh sebelum Al Qaedah maupun Jemaah Islamiyah menjadi kosakata sehari-hari.

Sekeluar dari Tempo, sepanjang tahun-tahun awal setelah Bom Bali, saya mengumpulkan sebagian besar pemberitaan tentang kasus itu dari sumber berita yang luas (termasuk juga laporan ICG-nya Sydney Jones) dan mencoba mensitematisasikann ya. Bahkan saya pernah membuat milis khusus untuk berita-berita teror di Indonesia. Ini sebuah proyek pribadi yang
lebih didorong keingintahuan untuk memahami fenomena terorisme di Indonesia, tapi akhirnya harus saya sisihkan karena kesibukan lain.

Pesantren "Teroris" Ngruki saya kenal sejak SMP, akhir dasawarsa 1970-an, karena tak jauh dari kota kelahiran saya. Sepupu perempuan saya bahkan mengajar di situ. Paman saya sendiri pernah menjadi pengikut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.

Beruntung pula saya menjadi salah satu pembaca pertama laporan investigasi Alfian Hamzah tentang teror bom Makassar. Meski terbatas di Makassar, Alfian telah membuktikan secara solid kebohongan polisi dalam mengkaitkan ledakan bom di sana dengan Jemaah Islamiyah. Bahkan lebih buruk, menjebloskan tersangka tak bersalah ke penjara.

Investigasi Alfian adalah bukti paling solid sejauh ini tentang adanya konspirasi dalam tubuh kepolisian untuk membuat kesan bahwa Jemaah Islamiyah adalah organisasi yang omnipotent (sangat digdaya) dan omnipresent (ada di mana-mana). Sayang, tak ada koran di Makassar yang
mau memuat laporan Alfian itu, sehingga dia menerbitkannya sendiri dalam versi fotokopi serta menjualnya di perempatan lampu merah!

Saya ada di lapangan ketika polisi menggerebek "teroris Wonosobo", yang pernah saya tulis sebagai bentuk "publicity stunt" polisi berkat bantuan awak ANTV.

Saya juga mewawancara dan mengenal secara pribadi beberapa alumni Afghanistan, satu di antaranya seorang yang cukup senior untuk bisa menjadi perekrut, lebih senior dari Nasir Abbas maupun Imam Samudra.

Meski begitu, saya tak ingin mengklaim memiliki pengetahuan sempurna, baik tentang terorisme Indonesia maupun tentang Ngruki serta sepak terjang Sungkar dan Baasyir.

SEBUAH PUZZLE LEBAR

Siska benar, rangkaian teror bom di Indonesia, bahkan di dunia, yang dituduhkan kepada kelompok Islam, adalah semacam puzzle. Dan kita masing-masing hanya mengetahui beberapa keping saja.

Sejauh ini polisilah yang memonopoli sebagian besar kepingan itu. Ini sebagian karena minimnya investigasi independen (terutama di kalangan media) terhadap apa yang dilakukan polisi. Sebaliknya dari itu, banyak media justru menjadi corong polisi.

Maaf, meski saya tidak bisa menyebut Siska "sekadar corong", saya setuju Chairul bahwa sebagian jawaban Siska (yang akan kita bahas nanti) bersumber dari polisi, atau setidaknya dari pernyataan polisi yang diterima tanpa verifikasi.

Saya bisa memahami dan bersimpati pada kesulitan Siska, atau wartawan lain, untuk menyatukan puzzle itu.

Di tengah bombardemen klaim-klaim polisi, media sebenarnya keteteran melakukan verifikasi, bahkan jika mau melakukannya. Suatu hal yang semestinya kita akui saja secara terbuka dan jujur kepada pembaca/pemirsa.

Ada banyak sekali yang perlu diverifikasi. Dalam metode critical thinking, kita bahkan sebenarnya layak untuk mempertanyakan "bukti forensik" polisi, misalnya, sesuatu yang selama ini "terpaksa" kita terima karena kita (baik saya, Siska maupun wartawan lain) jelas tak memiliki akses ke laboratorium, untuk menguji beberapa pertanyaan dasar, seperti:

- Apa sih sebenarnya bom yang meledak di Bali? Benarkah itu bom pupuk yang dibeli Amrozi di Surabaya, seperti kata polisi?

- Bagaimana kepala Asmar Latin Sani bisa ditemukan utuh di kamar Hotel Marriott?

- Peluru apa sih yang membunuh Azahari di Batu? Dia ditembak atau bunuh diri?

- Apa yang sebenarnya terjadi di Wonosobo? Sebuah baku tembak atau pembantaian sepihak oleh polisi?

Dan masih ada seribu satu pertanyaan serupa lagi, mengingat ada ratusan penangkapan dalam lima tahun terakhir.

Terlalu banyak misteri dan kemungkinan, seperti yang tersirat dalam jawaban Siska sendiri. Saya kira cukup wajar jika kita bertanya:

Dalam situasi yang serba mungkin itu kenapa polisi demikian yakin dengan satu temuan tunggal, bahwa teror bom dilakukan Jemaah Islamiyah yang omnipotent dan omnipresent?

Polisi, dan khususnya Detasemen 88, tidak menginginkan transparansi dan akuntabilitas, bahkan untuk sesuatu urusan yang jelas. Pekan ini, misalnya, Kapolri mengatakan "kontroversi penembakan Abu Dujana tak perlu dikembangkan karena yang kita tangkap adalah teroris!"

Kata "teroris" seakan bisa membenarkan apa saja yang mau dilakukan polisi. Sebuah sikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Sangat potensial mengandung penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi.

MOTIF, MOTIF DAN MOTIF

Dari komik "Detektif Conan" anak-anak, saya belajar bahwa setiap penyidikan TKP (crime scene investigation) memiliki beberapa elemen: pelaku, bukti (forensik, balistik maupun kesaksian), dan motif.

Sir Arthur Conan Doyle, pereka detektif terkenal Sherlock Holmes, mengatakan "motif, motif dan motif". Motif merupakan elemen terpenting dalam investigasi, kadang lebih penting dari pengakuan dan kesaksian, untuk mengungkap siapa pelaku kejahatan. Siapa paling diuntungkan oleh sebuah kejahatan?

Saya, misalnya, bisa saja mengaku membunuh, tapi jika pembunuhan itu tidak bisa dijelaskan motifnya, tetap ada sebuah lubang menganga yang membuat investigasi tidak tuntas. Namun, pada saat yang sama, kecocokan motif saja tidak otomatis membuat seorang tertuduh pastilah
telah berbuat kejahatan.

Mengkaji motif kejahatan memiliki makna penting di sisi lain. Dia menjadi bahan pembelajaran bagi publik untuk mencegah kejahatan serupa terjadi. Sebagai contoh: jika terlalu banyak orang membunuh karena faktor ekonomi, misalnya, meski pembunuhan itu sendiri tidak bisa
dibenarkan, masyarakat disadarkan tentang pentingnya memperbaiki kondisi perekonomian.

Absennya motif, yang bisa dijelaskan secara tuntas dalam berbagai peristiwa teror bom di Indonesia, yang paling membuat saya ragu teror ini dilakukan dengan motif agama atau politik.

Ada beberapa point penting dari jawaban Siska yang perlu dibahas, sebagian saya menyetujuinya, sebagian lain tidak:

JEMAAH ISLAMIYAH, SUNGKAR DAN BAASYIR

Siska:

- Jemaah Islamiyah itu ada, didirikan di Malaysia oleh Abdullah Sungkar, teman Abu Bakar Baasyir.
- JI bukan organisasi yang berorientasi teror.

Farid Gaban:

Saya sedikit banyak tahu tentang Sungkar dan Baasyir sejak SMP, terutama dari paman saya yang pernah terlibat dalam gerakan mereka. Di zaman Orde Baru, setelah Sungkar dan Baasyir lari ke Malaysia akibat prosekusi pemerintahan, paman saya ini tiga tahun mendekam di penjara
untuk sebuah tuduhan teror yang tak pernah dilakukannya. Dia masuk penjara ketika istrinya sedang hamil tua.

Abu Bakar Baasyir sendiri mengatakan JI tidak ada, atau setidaknya dia tidak merasa mendirikan organisasi itu. Paman saya juga tidak merasa menjadi anggota organisasi semacam itu.

Tapi, taruhlah saya lebih percaya pada Siska ketimbang Baasyir dan paman saya, pertanyaan pentingnya adalah benarkah JI secara organisatoris melakukan kejahatan seperti dituduhkan?

(Kita nanti akan membahas lagi hal ini di pertanyaan nomor dua).

Meski Siska mengatakan JI bukan organisasi berorientasi teror, saya melihat Siska membuat kesimpulan/kaitan yang jumping ketika menjelaskan sepak terjang Sungkar dan Baasyir (30 tahun lalu) dengan aksi teror di Indonesia pasca-reformasi, dan secara tersirat menyimpulkan ini punya korelasi kejahatan yang langsung.

Siska benar ketika mengatakan Gerakan Abdullah Sungkar adalah memperjuangkan negara Islam, atau tegaknya Syariah Islam.

Tapi, apakah itu sebuah kejahatan?

Saya pribadi tidak setuju pandangan politik dan keislaman Sungkar, Baasyir dan paman saya, tapi saya tidak bisa menganggap gerakan mereka itu sebagai kejahatan. Sama halnya saya tidak akan menganggap orang yang berjuang untuk tegaknya provinsi Kristen, kapitalisme, sosialisme
dan komunisme di Indonesia adalah orang yang dengan sendirinya kriminal.

Di zaman Orde Baru, "mendirikan Negara Islam/Syariah" adalah kejahatan. Baik Sungkar maupun Baasyir diprosekusi bukan karena tindakan kriminal, tapi karena pandangan politiknya. Itu sendiri sudah merupakan ketidakadilan Orde Baru. Sungkar, Baasyir dan paman saya
adalah korban dari teror negara.

Seperti Siska juga tahu, banyak orang Islam Indonesia, tidak hanya dari Kelompok Sungkar, bersimpati kepada Muslim Afghanistan di bawah pendudukan Soviet, atau pejuang Moro di Mindanau, atau pejuang Palestina di Israel.

Banyak dari mereka, tak hanya Kelompok Sungkar, juga bersedia berangkat untuk berperang, meski saya meragukan ketrampilan perang mereka. (Seorang alumni Afghanistan mengatakan kepada saya, mujahid dari Indonesia tidak pernah memiliki posisi yang penting di sana).

Bagaimanapun, saya tidak menganggap bersimpati, berperang, di Afghanistan atau di Mindanau merupakan kejahatan, terutama kejahatan yang bisa dijerat dengan KUHP Indonesia.

Siska menganggap itu sebagai kejahatan?

Lebih dari itu, berjuang di Afghanistan atau Moro (di satu pihak) dan melakukan teror di Indonesia (di lain pihak) adalah dua hal yang tidak ada hubungannya, terutama jika kita melihatnya dari segi hukum.

Jika seseorang dituduh melakukan teror di Indonesia, kita tidak bisa otomatis mengatakan yakin mereka melakukan itu hanya karena mereka pernah ke Afghanistan atau Mindanau.

AMBON-POSO DAN TEKNIK PIVOT DALAM PROPAGANDA

Menurut saya, kita perlu berhati-hati dengan serpihan-serpihan fakta itu dan tidak membuat kaitan secara gampangan.

Sebab, di tingkat inilah, bukan fakta lapangan, sebenarnya propaganda bekerja. Dalam propaganda dikenal teknik "pivot", sebuah analogi dalam bidang mekanika mesin. Teknik ini mengkaitkan berbagai hal yang mengorbit ke sebuah simpul (A pivot is that on which something turns).

Kaitan ini tidak dinyatakan secara eksplisit tapi karena diulang terus-menerus akhirnya diterima oleh audiens sebagai korelasi langsung.

"Teror" adalah pivot itu, sebuah kata yang membundel beberapa kata kunci seperti "Jemaah Islamiyah, Al Qaedah, Afghanistan, Irak, Moro, Ambon, Poso, negara Islam, Syariah" seolah-olah semua kata itu memiliki kaitan langsung dan otomatis.

Tentang Poso atau Ambon, walaupun saya pribadi lebih suka ada penyelesaian hukum dan politik yang komprehensif, saya tak bisa menyalahkan begitu saja sebagian orang Muslim yang bersimpati atau berperang di pihak Muslim. Sama halnya, saya tidak bisa begitu saja
menyalahkan orang Kristen yang bersimpati atau berperang di pihak Kristen.

Konflik Ambon-Poso adalah konflik lokal yang tidak segera dibereskan. Dalam spiral kekerasan seperti itu, konfrontasi antar penganut agama tidak terhindarkan. Suatu hal yang menyedihkan, meski sebenarnya bisa dihindari lebih awal.

Tapi, dalam berbagai pernyataan lima tahun terakhir ini polisi mengkaitkan hampir secara langsung antara konflik di Ambon dan Poso dengan Jemaah Islamiyah, karenanya dengan teror, dan sebaliknya.

Ada kecenderungan di sini polisi ingin menutupi ketidakmapuannya menyelesaikan konflik sejak awal dengan mereduksi fenomena itu sebagai "teror Islam". Juga ada kecenderungan untuk mengesankan bahwa hanya simpati orang muslim sajalah yang merupakan teror, sementara
sebaliknya, dari kalangan Kristen, bukan teror.

Beberapa tahun lalu, Paul Wolfowitz (waktu itu Wakil Menteri Pertahanan Amerika) dan Kepala BIN Hendropriyono mengatakan Al Qaedah memiliki kamp latihan militer di Poso.

Di sini propaganda masuk ke level internasional. Ditambah lagi kampanye beberapa pendeta Kristen Amerika, yang menyebut kasus Poso sebagai "Christian Holocaust", maka lengkaplah: Al Qaedah, Jemaah Islamiyah, teror dan "pembantaian sistematis terhadap orang Kristen".

Mereduksi kasus Ambon dan Poso sebagai fenomena "teror Islam" atau "teror Al Qaedah" justru akan menjauhkan kita dari kemungkinan bisa memahami akar sebenarnya konflik itu, dan menghalangi kita bisa mencegah konflik serupa berulang di masa mendatang atau di tempat lain.

KETERLIBATAN JI SECARA ORGANISATORIS

Siska:

- Teror di Indonesia tidak dilakukan secara organisatoris oleh JI.
- Oleh karenanya, teror itu tidak bisa disebut terorisme JI.
- JI tidak sekuat yang dibayangkan media Barat (suatu jaringan terorisme Asia tenggara).
- Tidak pernah ada satu garis komando khusus di JI.
- Tidak ada tokoh aktivis JI yang track record dan signifikansinya dalam gerakan Islam kita kenali.

Farid Gaban:

Saya kira ini point terpenting dari kesimpulan penelusuran Siska. Saya juga punya kesimpulan sama: tidak ada kaitan antara teror di Indonesia dengan Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar dan Baasyir) sebagai organisasi.

Itulah sebabnya, saya menilai upaya yang gegap-gempita, dari polisi Indonesia dan Pemerintah Amerika/Australia, untuk mengkaitkan bom-bom teror di sini dengan "Jemaah Islamiyah bin Al Qaedah" adalah tindakan manipulatif, dan sarat dengan propaganda.

Manipulatif dan sarat propaganda pula usaha untuk mengesankan bahwa Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar/Baasyir) adalah sebuah organisasi yang rapi, terstruktur, dengan satu komando khusus, omnipotent dan omnipresent.

Struktur organisasi Jemaah Islamiyah seperti yang dimuat oleh Harian Kompas dan Majalah Tempo pekan lalu adalah struktur yang direka polisi. Kompas dan Tempo hanya memperkuat propaganda polisi.

Media Barat pun sebenarnya hanya menerima frame, tanpa verifikasi, dari statement Departemen Luar Negeri Amerika, yang bisa kita baca dalam website-nya, bahwa "Jemaah Islamiyah adalah organisasi yang ingin mendirikan Kekhalifahan Islam se-Asia Tenggara dengan cara teror".

Statement Amerika ini diperkuat oleh "publicity stunt" polisi Indonesia.

Adegan penggerebegan di Bandung, Batu (Malang), Wonosobo dan terakhir penangkapan Abu Dujana adalah adegan yang penuh "heroisme" dan menggunakan kekuatan eksesif untuk memberi kesan bahwa yang ditangkap dan dibunuh adalah orang-orang yang terlatih, bomb-loaded, cerdik, dan sangat berbahaya, kaliber internasional ("Asia Tenggara").

Siska menyebut itu sebagai kebodohan polisi, saya justru melihatnya sebagai kecerdikan polisi dalam memanipulasi publik.

Setiap kali penangkapan, polisi mengumumkan "buron nomor satu" untuk memberi kesan penting: pertama Baasyir, lalu Azahari, terus Noordin Top, kini Zarkasih, dan terakhir Abu Dujana.

Semua "buron nomor satu", meski dalam beberapa kasus yang ditangkap/dibunuh adalah orang yang sehari-hari bekerja menjadi penjahit, guru atau penjual kelontong keliling, dan dengan tuduhan sesederhana "menyembunyikan tersangka teroris".

Setiap kali penggerebekan, polisi juga cerdik sekali memanfaatkan televisi, terutama ANTV, sehingga wartawan sekaliber Siska pun terkecoh melihat aksi polisi sebagai aksi teroris Azahari. (Kata Siska: "Kita liat sendiri aksi heroik Azahari itu di ANTV.")

Dalam tayangan ANTV itu, seingat saya, pemirsa tidak pernah melihat Azahari dalam keadaan hidup. Yang kita lihat adalah kesibukan para polisi.

Demikian pula ketika polisi menggerebeg "teroris Wonosobo", yang juga ditayangkan secara "live" oleh ANTV. Mengamati langsung lokasi penggerebegan dan mewawancara beberapa saksi di lapangan, saya menyimpulkan, polisi jika mau bisa melumpuhkan tersangka (sekali lagi
tersangka) tanpa harus membunuhnya.

Tapi, yang dilakukan polisi adalah sebuah aksi heroik untuk memberi kesan ada perlawanan maut dari dalam, meski dilihat secara seksama tayangan ANTV itu sendiri bahkan tidak menunjukkan adanya perlawanan.

Penggerebegan yang heroik ini selalu menjadi perhatian media internasional yang pada gilirannya memberi kesempatan kepada John Howard dan George Bush untuk tampil pula menjadi pahlawan bagi publiknya, menunjukkan "bukti otentik" keberadaan "Jemaah Islamiyah
bin Al Qaedah" dan karenanya memberi justifikasi pendudukan Irak dan Afghanistan.

Teknik Pivot. Al Qaedah, Jemaah Islamiyah, teror, Afghanistan, Irak, Moro, Poso, Ambon, dan syariah.

MOTIF POLITIK TEROR BOM

Siska:

- Susah dijawab pertanyaan apakah aksi teror di Indonesia sesuai dengan motif politik JI.
- Awalnya para aktivis JI dalam fase kebingungan, sebab setelah Sungkar organisasi ini hilang kendali. Baasyir yang ditunjuk sebagai pengganti Sungkar, tidak terlalu tegas.

Farid Gaban:

Terlalu banyak kemungkinan bisa terjadi dari "para aktivis yang bingung" dan sebuah organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu). Terlebih lagi jika organisasi itu "tidak memiliki sistem komando khusus". Random.

Siska mengatakan para aktivis JI kontemporer kemungkinan dipengaruhi oleh fatwa Usamah bin Laden. Tapi, menurut saya, ini kaitan yang jumping kecuali di awal kita sudah punya anggapan (yang menurut saya prematur) bahwa Jemaah Islamiyah adalah organisasi cabang Al Qaedah di Asia Tenggara.

Saya tidak mau berspekulasi di sini, karena saya pun tidak tahu persis motif politik teror-teror bom yang Siska sebut dilakukan oleh "aktivis yang bingung", dalam organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu) dan "tidak memiliki komando khusus" itu.

Ada terlalu banyak kemungkinan di sini. Perlu ada satu sesi investigasi lain.

Satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik sekarang ini: meski ada banyak pertanyaan tak terjawab, jelas sekali ada UPAYA SENGAJA untuk merujuk hanya ke sebuah kesimpulan saja, bahwa ini dilakukan Jemaah Islamiyah, suatu hal yang Siska sendiri tidak setujui.

PERTANYAAN SELEBIHNYA DAN SEBUAH TARUHAN BESAR

Saya tidak melihat Siska punya jawaban pasti terhadap pertanyaan selebihnya. Saya pun tidak. Kita sama-sama tidak memiliki akses independen pada bukti-bukti keras (hard evidences). Yang ada hanya bukti tak langsung (circumstansial evidences), itupun sebagian besar dimonopoli polisi.

Jika saya menulis tentang hal ini, saya akan mengaku terus terang kepada pembaca bahwa ada banyak hal yang "unverified" dan "yet to be verified" dalam kasus terorisme di Indonesia.

Saya tidak ingin menjadi sok tahu dalam hal ini.

Beberapa bulan lalu kita ingat kasus jatuhnya Adam Air. Mengutip sebuah klaim yang tanpa verifikasi, seluruh media lokal dan internasional, terkecoh tentang lokasi jatuhnya pesawat yang ternyata bukan.

Memberitakan secara gegabah klaim polisi dalam kasus terorisme punya taruhan yang lebih besar dan berbahaya ketimbang klaim berita kecelakaan:

- Potensial memperuncing ketegangan antar-agama
- Menjustifikasi penindasan hak asasi manusia
- Menjustifikasi manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan

Terlalu besar taruhannya bagi bangsa ini.

Salam,
Farid Gaban


Dikutip dari milis Khaira Ummah

diposting ulang oleh informed

5 komentar: