Sabtu, 27 November 2010

SWAMI - OH YA...




Album:[1989] Swami Penyanyi Iwan Fals & Sawung Jabo

Andaikata aku di mobil itu
Tentu tidak di bus ini
Seandainya aku rumah itu
Tentu tidak di gubuk ini

A a a andaikata
Se se se seandainya
Oh ya!

Kalau saja aku jadi direktur
Tentu tidak jadi penganggur
Umpamanya aku dapat lotere
Tentu saja aku tidak kere

Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!

Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku

Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku

Aku bosan

A a a andaikata
Se se se seandainya
Ka ka ka kalau saja
U u u umpamanya
Oh ya!

Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku

Oh ya! Ya nasib
Nasibmu jelas bukan nasibku
Oh ya! Ya takdir
Takdirmu jelas bukan takdirku

La la la
La la la
La la la la la la la la la la la la la

La la la
La la la
La la la la la la la la la la la la la

Selasa, 23 November 2010

Ribuan Warga Jateng Masuk Jaringan Teroris? ~ Informed - Institute for Media Studies

http://informed-instituteformediastudies.blogspot.com/2010/11/ribuan-warga-jateng-masuk-jaringan.html
Menurut laporan Suaramerdeka.com, ribuan warga Jateng yang berada dalam kelompok tertentu diyakini masuk jaringan teroris, hal ini dikemukakan Komandan Detasemen 88 Antiteror Polda Jateng, Kombes Pol Daryono dalam acara Halaqah Penanggulangan Terorisme di Hotel Novotel Solo, Minggu (21/11).

Pernyataan Daryono ini tampaknya merupakan semacam sinyalemen dimulainya ekstensifikasi perang imperialis AS dan sekutu terhadap rakyat Indonesia terutama ummat Islam. Ribuan orang yang telah ditetapkan untuk menjadi sasaran pembunuhan dan penculikan Densus 88 ini tentu saja mencakup mereka yang pada akhirnya diadili dengan tuntutan yang berbeda karena sejak awal Densus 88 memang tidak memiliki bukti-bukti keterlibatan mereka dengan kasus terorisme seperti yang menimpa Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang dikaitkan dengan kasus bom Bali, mereka yang ditembak mati di tempat tanpa pernah diketahui identitas dan keterkaitannya dengan aksi terorisme seperti menimpa dua korban kebrutalan Densus 88 di Cawang, mereka yang dibebaskan kembali diam-diam karena Densus 88 sama sekali kesulitan mencari-cari kesalahan mereka agar terus bisa dibui sebagaimana menimpa 13 orang aktivis pengajian di Pejaten, mereka yang diculik tanpa surat penangkapan, istri dan anak-anak mereka yang ikut ditawan, serta masih banyak lagi korban lainnya.


Daftar panjang kebrutalan Densus 88 ini bukan tanpa dukungan, selain dukungan finansial dan teknis yang mereka dapatkan langsung dari AS dan sekutunya seperti Australia, dukungan opini juga ditunjukkan oleh misalnya saja kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala yang menyatakan justru apabila buruan Densus 88 tertangkap dalam kondisi hidup-hidup, hal itu yang layak dipertanyakan. Dukungan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 seperti ditunjukkan Adrianus ini memang tidak sekuat tekanan atas pembubaran Densus 88 atau setidaknya penyelidikan atas lembaga yang hidup dari kucuran dana asing ini, Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar misalnya mendorong agar Komnas HAM lebih giat lagi mengawasi kemungkinan adanya pelanggaran ini. LSM seperti Kontras, Imparsial, juga bisa ikut membantu. Hasil pengawasan ini, lanjut dia, nantinya akan menjadi rekomendasi bagi DPR. Lebih jauh lagi dari itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mengusulkan agar Densus 88 kalau perlu dibubarkan saja.

[INFORMED.TK]

Senin, 22 November 2010

Multiply - Secure, Family-Friendly Media Sharing

http://walker80.multiply.com/journal/compose

Irak setelah demokrasi; media hanya boleh menjadi corong penguasa? ~ Informed - Institute for Media Studies

http://informed-instituteformediastudies.blogspot.com/2010/11/irak-setelah-demokrasi-media-hanya.html
Saluran televisi Al-Baghdadiya Irak, sebuah stasiun televisi independen yang dipertimbangkan sebagai stasiun tv nasionalis pada akhirnya dipaksa tunduk pada otorianisme pemerintahan demokrasi boneka AS di Irak. Sebagaimana dilaporkan AFP, komisi ijin media Irak telah menuduh stasiun tv tersebut sebagai 'corong teroris'.

"Penutupan ini dilakukan setelah turunnya keputusan atas Al-Baghdadiya karena melanggar aturan dan regulasi penyiaran lembaga media", ungkap Komisi Komunikasi dan Media dalam pernyataan mereka.

Pelanggaran apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Komisi itu? Ternyata hanya karena Al-Baghdadiya menyiarkan tuntutan kelompok bersenjata dalam sebuah serangan atas gereja di Baghdad Minggu 31 Oktober yang lalu.

Kontrol atas media dan informasi di Irak semakin diperkuat setelah demokrasi dipaksakan oleh pasukan invasi AS di negeri itu, di samping kekecewaan besar yang dirasakan oleh penganut agama Kristen di Irak yang merasakan sentimen anti-Kristen tumbuh seiring menguatnya identitas keislaman dan perlawanan rakyat Irak atas agresi Amerika.

Seorang pemuka Kristen Irak, Uskup Athanasios Dawood mengatakan kepada BBC bahwa saat ini tidak ada lagi tempat bagi warga Kristen di Irak, "semua membenci orang Kristen", keluhnya. Dawood juga menuding Amerika Serikat tidak memenuhi janjinya, "Mengapa kami sekarang harus meninggalkan negeri ini, justeru setelah menerima janji Amerika akan membawakan kami kebebasan, demokrasi?" Dawood menambahkan.

Invasi Amerika Serikat atas Irak memang tidak hanya membawa kesengsaraan kepada mayoritas penduduk muslim negeri itu, tetapi juga seluruh warga Irak, tidak terkecuali mereka yang semula menaruh harapan pada janji Amerika Serikat. [informed.tk]

Kamis, 18 November 2010

Sumiati, dan Wajah "Arab" di Media Kita ~ Informed - Institute for Media Studies

http://informed-instituteformediastudies.blogspot.com/2010/11/sumiati-dan-wajah-arab-di-media-kita.html
Kabar tentang Sumiati, seorang TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat yang disiksa majikannya di Arab Saudi menambah daftar panjang kekerasan terhadap TKI di negeri dua tempat suci bagi Ummat Islam itu. Sebagaimana diberitakan detikNews, Sumiati dikabarkan menderita luka bakar di sejumlah bagian badan, kedua kaki nyaris tak bisa digerakkan, kulit kepala terkelupas, dan sejumlah luka lama yang dalam di tubuhnya termasuk kulit di bibir dan kepala hilang, jari tengah retak dan potongan di dekat mata. Wajar saja jika Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebut keluarga majikan Sumiati biadab.

Nasib Sumiati, dan banyak "Sumiati" lainnya memang harus mendapat perhatian bersama, karena itu sudah selayaknya media berperan dalam menyampaikan kabar ini kepada kita, agar kilau Dinar dan Ringgit tak lagi terlalu menyilaukan hingga menutup mata para pengambil kebijakan dari begitu rentannya posisi para TKI di banyak negara.

Saat ini, enam juta TKI bekerja di 42 negara berasal dari 361 kabupaten/kota dan 33 provinsi (data BNP2TKI). BNP2TKI menyebut mereka, "Pahlawan Devisa: Mengurangi pengangguran, mengikis kemiskinan dan menggerakkan perekonomian masyarakat desa, Menopang kehidupan 30 juta anggota keluarga dan menyumbang devisa lebih Rp 100 triliun per tahun." Sayang, besarnya pujian bagi para tenaga kerja Indonesia di luar negerti ternyata masih belum sebanding dengan perlindungan yang mereka dapatkan, tidak hanya perlindungan dari perlakuan majikan yang tak manusiawi, tetapi juga banyak ancaman lainnya yang lebih laten dan lebih banyak menelan korban, dari mulai pungli, berbagai pungutan yang mencekik, manipulasi biaya pasport, dan masih banyak lagi (We Want Day Off!!! Discussion Board).

Selain menunjukkan kegagalan negara dalam menyediakan lapangan kerja bagi warganya di dalam negeri, pujian BNP2TKI tadi juga menunjukkan besarnya ketergantungan negara ini terhadap penerimaan para tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama Malaysia dan Arab Saudi yang merupakan dua negara penempatan TKI terbesar (data BNP2TKI). Hal lainnya yang mungkin kadang terluput dari perhatian kita, besarnya antusiasme banyak warga Indonesia untuk bekerja di Malaysia dan Arab Saudi, meski dengan gencarnya pemberitaan mengenai banyak perlakuan tidak manusiawi yang menimpa TKI di dua negara tadi, juga menunjukkan bahwa ancaman yang mungkin menimpa mereka di sana mungkin dianggap tidak lebih besar dari ancaman ketiadaan lapangan pekerjaan di negeri sendiri, sekaligus harapan besar perubahan nasib dengan menjadi TKI.

Menurut Migrant CARE,
Dalam semester pertama tahun 2007 ini saja terjadi 45 kasus kekerasan (fisik) yang dilaporkan. Arab Saudi dan Malaysia menunjukkan angka jumlah kasus kekerasan yang sangat mencolok. Di Arab Saudi telah dilaporkan 21 kasus, sedangkan di Malaysia telah dilaporkan 14 kasus. Angka ini jauh di atas Negara-negara tujuan lain (AS, Bahrain, Taiwan, Kuwait, Hong Kong dan Singapura) yang rata-rata hanya di bawah 3 kasus. Sedangkan angka kematian dalam setahun terakhir mencapai 102 kasus yang dilaporkan, dengan rician sebagai berikut:
Malaysia (36 kasus), Arab Saudi (18), Singapore (12), Yordania (7), Hongkong (5), Taiwan (9), Kuwait (3), Jepang (1), tak diketahui negara tujuannya (4).
Angka-angka di atas tentu saja bukan hanya sekedar angka, melainkan jumlah manusia Indonesia yang menjadi korban penganiayaan dan pelecehan bangsa lain, angka-angka di atas juga mewakili betapa lemahnya perlindungan terhadap TKI di luar negeri. Namun demikian, tanpa bermaksud mengecilkan besarnya luka rakyat Indonesia dari berbagai perlakuan tak manusiawi ini, jika kita bandingkan angka-angka tadi dengan keseluruhan jumlah TKI yang bekerja luar negeri, yaitu enam juta jiwa, maka dengan pertimbangan apapun kita akan tetap mendapati bahwa berbagai kasus kekerasan atas TKI di atas ternyata tidak mewakili kondisi keseluruhan para pekerja kita, dan para majikan biadab yang menyiksa para pekerja kita untuk alasan-alasan yang mungkin kita anggap sepele ternyata juga tidak mewakili sikap mental bangsa mereka, sebut saja, Malaysia atau Arab Saudi.

Bias propaganda dalam berita media

Sudah sangat sering kita mendengar berita duka yang menimpa saudara kita yang bekerja di Arab Saudi dan Malaysia, kekecewaan besar kita terhadap lemahnya perlindungan TKI di luar negeri tak jarang terartikulasi dalam bentuk kebencian terhadap negara bahkan bangsa majikan yang melakukan kekerasan itu. Umpatan bernada rasis dalam menanggapi situasi ini, bersama sebutan-sebutan bernada peyoratif seperti 'si Arab' atau 'Malingsia' juga tak jarang kita dengar, baik dalam perbincangan sehari-hari, blog, maupun jejaring sosial.

Umpatan-umpatan rasis semacam tadi bisa jadi merupakan akumulasi dari rasa frustasi masyarakat terhadap berbagai berita miring yang disampaikan media terkait perlakuan bangsa-bangsa tersebut terhadap saudara kita yang diwakili oleh majikan mereka, yang sayangnya, seringkali tidak diimbangi diterimanya juga fakta dan kondisi kerja yang sebenarnya sebagaimana telah sedikit digambarkan di atas. Seringkali kita hanya mendapatkan berita mengenai begitu kejamnya, misalnya saja perlakuan seorang majikan di Arab Saudi terhadap seorang TKI, kesedihan dan kemarahan kita atas perlakuan majikan itu, lambat laun bergeser menjadi kebencian terhadap bangsa yang kita anggap diwakili oleh majikan itu, karena misalnya saja, media tidak memberi kesempatan kepada kita untuk mengetahui bahwa kekejaman itu juga merupakan kejahatan di negara tersebut, dan pelakunya mendapatkan hukuman sebagaimana diatur hukum negara tersebut.

Sebagai sedikit perbandingan, berapa sering kah kita mendengar TKI yang harus menghadapi ancaman hukuman mati? Lalu berapa sering kita mendengar berita mengenai seorang majikan yang juga menghadapi hukuman yang sama untuk kejahatan yang dia lakukan terhadap TKI kita? Dengan jujur harus kita katakan, bahwa berita-berita media selama ini lebih didominasi satu sisi berita tanpa memperhatikan juga kelanjutan atau sisi berita lainnya yang bisa jadi berbeda. Dalam program Apa Kabar Indonesia - Malam di TV ONE (17/11), Jumhur Hidayat mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, tidak jarang majikan di Arab Saudi juga menghadapi hukuman mati atau hukuman lainnya untuk kejahatan yang dia lakukan. Terungkapnya fakta ini tentu menempati porsi yang jauh lebih kecil dari gencarnya pemberitaan mengenai berbagai kekerasan yang dialami tenaga kerja kita. Gambaran ini menunjukkan kepada kita, betapa media lebih berperan sebagai lembaga produksi hasutan dan propaganda daripada media jurnalisme yang jujur dan seimbang.

Demonisasi wajah Islam melalui media

Arab dan Islam tentu saja tidak identik, Arab sebagai sebuah bangsa tentu saja tidak sama dengan Islam sebagai sebuah agama. Bagaimanapun, kaitan kesejarahan antara keduanya terlalu kuat untuk dipisahkan begitu saja, dan kaitan inilah yang dimainkan media dalam membangun opini massa, dan ini bukan hanya monopoli media, tetapi merupakan sebuah agenda besar dalam perang peradaban hari ini.

Betapa sering kita mendengar corong-corong liberal berbaju Islam menuding adanya Arabisasi untuk merujuk pada upaya Islamisasi. Upaya membangun sentimen anti Arab yang dianggap mewakili Islam ini juga tidak hanya dilakukan melalui berbagai pemberitaan miring mengenai hal-hal negatif yang terkait dengan bangsa ini, tetapi juga melalui hasutan dan provokasi langsung sebagaimana dipertontonkan Guntur Romli, salah seorang aktivis JIL dalam persidangan kasus Monas 2008 silam.

Perang media memiliki kaidah dan teknik khusus tersendiri. Dramatisasi, rekayasa data dan informasi, pemalsuan berita, dan membesar-besarkan atau mengecilkan suatu isu merupakan sejumlah metode yang digunakan dalam perang media. Sebagai misal, serangan terhadap sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan keyakinan agama atau ideologi suatu bangsa lewat beragam cara merupakan bagian penting dalam perang media. Produksi beragam program televisi dan film merupakan contoh lain yang kerap digunakan dalam strategi perang semacam itu (IRIB).

Kisah Sumiati yang menyayat hati saat ini lagi-lagi berujung pada manipulasi dan dimanfaatkan untuk membangun sentimen anti Arab dalam perang media yang dilancarkan Barat terhadap Islam hari ini. Dalam konteks ini, kita akan melihat bahwa bombastisnya pemberitaan media mengenai nasib tragis yang dialami Sumiati tidak terlepas dari upaya pembangunan argumentasi bagi ancaman dari apa yang mereka sebut dengan 'Arabisasi'.

Terlepas dari ketidak sefahaman kita terhadap ideologi, sistem kenegaraan atau kebijakan politik Arab Saudi, kita akan tetap melihat bahwa serangan terhadap Arab yang dilakukan oleh Barat melalui media hari ini sesungguhnya merupakan bagian dari serangan Barat terhadap Islam dan kaum muslim, untuk menunjukkan apa yang mereka sebut "ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan memerintah" (Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies [CDI] hal. 48), merujuk pada laporan UNDP 2002 mengenai kondisi wanita di negara-negara Arab dan laporan-laporan lainnya mengenai negara-negara Arab dan dinamika masyarakat serta komunitas Islam lainnya (CDI hal. 34).

Republika Online melaporkan, sebuah hasil survei yang dipublikasikan harian The Guardian akhir Januari lalu menyebutkan, kalangan politisi dan media massa di Inggris adalah penyebab kebencian masyarakat luas terhadap Islam. Hal ini juga terjadi di berbagai negara Eropa dan Amerika pada umumnya. Situasi semacam ini juga lah yang kita saksikan dari gencarnya pemberitaan mengenai nasib Sumiati saat ini. Ya, tragis, karena tidak hanya harus menerima penganiayaan dari majikan, nasibnya kini juga menjadi komoditas media untuk kepentingan propaganda mereka.